Selasa, 22 Februari 2011

Mane’e, Ikon Wisata Talaud

    Jarang ada penangkapan ikan yang didahului dengan menggiring ikan menggunakan rotan yang diikat janur dan dilakukan beramai-ramai dari kedalaman tiga meter, kemudian dikurung di lokasi tertentu di pesisir pantai. Peristiwa unik tersebut masih dilakukan masyarakat pada sejumlah pulau di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara.

Keunikan peristiwa tersebut telah berkembang menjadi cerita hangat di kalangan para petualang di dalam dan luar negeri. Maka, ketika pada awal Maret 2007, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) menyebarkan informasi tentang acara Festival Mane’e di Pulau Intata, Kabupaten Talaud, pada 21 Mei 2007, sebanyak 40 warga Jepang langsung mendaftarkan diri pada ASEAN-Japan Centre: pusat promosi perdagangan, investasi, dan pariwisata ASEAN yang berkantor pusat di Tokyo.
    Mereka ingin menyaksikan langsung dan mengikuti seluruh proses penangkapan ikan secara tradisional tersebut. “Sudah lama saya mendengar cerita tentang Mane’e. Kisahnya membuat saya sangat penasaran dan ingin segera menyaksikan langsung, tetapi baru kali ini kesempatan itu datang,” kata Naoko Miyazaki yang tinggal di Tokyo, Jepang.
Sejarah  
Naoko mengaku sejak akhir Maret 2007, dia bersama tiga temannya mulai mengumpulkan bahan-bahan dan informasi tentang Mane’e, sejarah, serta kebudayaan masyarakat Kepulauan Sangihe dan Talaud. Informasi yang terkumpul sangat menarik sehingga membuat mereka meyakini perjalanan wisata kali ini ke Indonesia pasti sangat memuaskan.
    Di tengah persiapan yang makin matang untuk menuju ke Pulau Intata, ke-40 calon wisatawan asal Jepang mendapat kabar tentang perubahan waktu pelaksanaan Festival Mane’e; dari semula 21 Mei 2007 menjadi 23 Mei 2007. Perubahan itu tersiar di Jepang pada awal Mei 2007.
     Akibatnya, 36 calon wisatawan asal Negeri Sakura itu langsung membatalkan rencana untuk mengikuti Festival Mane’e. Alasannya, jadwal perjalanan wisata mereka ke Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara sulit diubah lagi. Kalau memaksakan diri untuk mengikuti acara Mane’e pada 23 Mei 2007, berarti akan merusak sebagian besar rencana perjalanan.
    Sepekan menjelang festival tersiar kabar lagi bahwa acara Mane’e di Pulau Intata tetap digelar pada 21 Mei 2007. “Berita ini terdengar setelah 36 turis Jepang telanjur membatalkan rencana perjalanan ke Intata. Jadi, tidak ada manfaat lagi,” ujar Naoko, wisatawan Jepang, yang bersama tiga temannya dari Tokyo memilih tetap ke Pulau Intata.
      Belum dikelola Mane’e memang sungguh istimewa. Misalnya, penentuan waktu acara didasarkan pada perhitungan gerakan bintang dan pasang-surut tertinggi air laut. Lokasi penyelenggaraan Mane’e telah disterilkan dari penangkapan ikan.
      Dari sembilan lokasi di Pulau Intata dan sekitarnya satu lokasi di antaranya penangkapan ikan hanya dibolehkan sekali dalam setahun saat acara Mane’e. Delapan lokasi lainnya sterilisasi berlaku selama enam bulan. Luas setiap lokasi berkisar enam sampai delapan hektar. Di luar lokasi Mane’e, nelayan tetap menangkap ikan sepanjang tahun.
     Setelah ikan digiring dengan janur yang terikat pada rotan ke sebuah kolam di dekat pantai, semua warga masyarakat diizinkan menangkapnya dengan tangan. Hasil tangkapan itu bisa dikonsumsi di rumah masing- masing.
    Seiring dengan perkembangan zaman, Mane’e pun menjadi populer di berbagai pelosok dunia. Bahkan, kemudian berubah menjadi ikon pariwisata di Kepulauan Talaud. Apalagi, tradisi yang telah berlangsung ratusan tahun itu tidak dijumpai di daerah lain.
    Akan tetapi, pemerintah daerah, masyarakat adat, dan pelaku usaha di daerah tersebut belum mampu mengelola kegiatan Mane’e untuk menjaring wisatawan, termasuk dari mancanegara. Salah satu contoh adalah perubahan jadwal acara Mane’e saat menjelang kegiatan.
      Selain itu, selama Mane’e berlangsung pun penyelenggara tidak pernah memastikan kapan proses penangkapan ikan dimulai. Akibatnya, banyak tamu dari luar Kepulauan Talaud yang tidak bisa menyaksikan seluruh proses penangkapan ikan. Saat mereka tiba di kolam pengurungan ikan, kegiatan Mane’e sudah selesai.
    “Sejak awal April 2007 saya sudah menyiapkan diri untuk mengikuti serta merekam seluruh proses kegiatan Mane’e. Kami datang jauh-jauh dari Jepang karena acara seperti ini sangat langka. Karena itu, kami ingin melihatnya langsung. Tetapi, kami tidak bisa merekam seluruh proses itu karena waktu penangkapan ikan secara massal yang disampaikan panitia di Pulau Intata berbeda dengan fakta yang dilakukan nelayan,” ungkap wisatawan asal Jepang Nobuko Otsu bernada kecewa.
     Langkah selanjutnya Kekecewaan juga diutarakan Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (Gahawisri) Didien Junaedy. “Turis itu rela datang ke suatu kegiatan semata-mata mau melihat prosesnya. Itulah momentum yang dinilai paling penting dan paling bernilai,” ujar Didien.
     Masalah tersebut timbul, lanjutnya, karena lemahnya koordinasi pihak penyelenggara Festival Mane’e mulai dari tingkat pusat hingga kecamatan. Jika acara Mane’e ingin dijual sebagai obyek wisata, mestinya penangkapan ikan secara massal diatur secara bertahap. Misalnya, penangkapan pertama dilakukan tamu dari luar Talaud, atau wisatawan asing. Setelah itu, menyusul masyarakat setempat dan sebagainya.
      Mengapa wisatawan asing itu didahulukan? Karena mereka akan bisa bercerita dan menginformasikan kepada wisatawan lainnya di seluruh pelosok dunia. “Apabila upacara Mane’e memberi kesan positif, pada kegiatan berikutnya pasti diminati banyak turis asing,” kata Didien.
     Selain itu, waktu penyelenggaraan acara Mane’e juga harus ditetapkan setahun sebelumnya. Hal ini penting karena bagi turis mancanegara, setiap perjalanan wisata ke luar negeri selalu dijadwalkan beberapa bulan sebelumnya, disertai penetapan waktu dan lama kunjungan di setiap lokasi, serta biaya.
    Di samping itu, penjadwalan yang jelas akan memudahkan perusahaan agen wisata untuk menjual acara Mane’e ke luar negeri. Termasuk menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan pelayaran untuk menjadwalkan kunjungan kapal ke Pulau Intata guna mengangkut para wisatawan yang ingin menyaksikan Mane’e.
   Wardiyanto, Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, mengemukakan bahwa perlu dibangun visi bisnis pariwisata di kalangan masyarakat dan aparatur pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud. Langkah ini penting agar potensi yang besar ini memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah dan masyarakat setempat.
    Pilihan lain yang perlu dilakukan adalah membuat strategi besar untuk menjadikan Mane’e sebagai aset pariwisata. Mulai dari penyediaan fasilitas pendukung hingga aspek sosial, sehingga wisatawan merasa nyaman, aman, dan menikmati selama berkunjung ke wilayah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar